Jakarta – Beredar di media ceramah sosial yang dinilai berisi kebencian dan hal-hal yang berkaitan dengan agama yang merusak kerukunan umat. Agama Yaqut Cholil Qoumas mengingatkan ujaran kebencian dan hal-hal yang berkaitan dengan tindak pidana. Menag meminta para penceramah agama tidak menjadikan ruang publik untuk menyampaikan pesan berisi kebencian maupun hal.
“Menyampaikan kebencian dan kebencian terhadap simbol agama adalah pidana. Deliknya aduan dan bisa mengelola di kepolisian, termasuk pelanggaran UU No 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama,” tegas Menag di Jakarta, Minggu (22/08/2021).
Menurut Menag, aktivitas ceramah dan kajian, seharusnya dijadikan sebagai ruang edukasi dan pencerahan. Ceramah adalah media bagi para penceramah agama untuk meningkatkan pemahaman keagamaan terhadap keyakinan dan ajaran agamanya masing-masing, bukan untuk saling menghina keyakinan dan ajaran agama lainnya.
Ceramah adalah media pendidikan, maka harus edukatif dan mencerahkan. Di tengah upaya untuk terus memajukan bangsa dan menangani pandemi Covid-19, semua pihak yang berkepentingan fokus pada ikhtiar merajut kebersamaan, persatuan, dan solidaritas, bukan melakukan kegaduhan yang bisa mencederai persaudaraan,” jelasnya.
Kementerian Agama, lanjut Menag, saat ini berupaya terus mengarusutamakan penguatan moderasi beragama. Hal ini akan dilakukan kepada seluruh pemangku kepentingan, mulai dari ASN, Forum Kerukunan, termasuk juga penceramah dan masyarakat luas. Ada empat indikator yang dikuatkan, yaitu komitmen kebangsaan, toleransi, anti kekerasan, serta penerimaan terhadap tradisi.
“Dalam konteks ceramah agama, penguatan terhadap empat indikator moderasi ini penting dan strategi agar para penceramah bisa terus mengemban amanah pengetahuan dalam menghadirkan pesan-pesan keagamaan yang selain meneguhkan kebahagiaan umat, juga mencerahkan dan menginspirasi,” katanya.
Penguatan Kompetensi
Wakil Menteri (Wamenag) Zainut Tauhid Sa’adi melihat hal itu tidak terlepas dari tingkat kompetensi penceramah, baik yang terkait teknik komunikasi maupun pengetahuan substansi.
Ini bisa menjadi tugas bersama Kementerian Agama dengan Ormas keagamaan di semua agama. Kemenag dalam dua tahun terakhir sudah menggulirkan program ini dan tentu perlu dioptimalkan untuk semua Ditjen Bimbingan Masyarakat, baik Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Buddha, termasuk Pusat Pembinaan dan Pendidikan Khonghucu,” jelasnya.
Menurut Wamenag, peristiwa yang dinilai hanya terjadi pada pidato dan pidato tidak ada satu agama. Ada kalanya terjadi saat penceramah komentar agama lainnya. Padahal, bisa jadi pengetahuannya tentang hal itu terbatas.
“Ceramah diarahkan untuk memperdalam keyakinan umat, tanpa barus kekhawatiran yang lain. Ini juga bisa menjadi bagian muatan pembinaan oleh Ormas keagamaan,” ujar Wamenag.
Wamenag menambahkan, perkembangan teknologi regulasinya juga perlu menjadi perhatian para penceramah. Saat ini ada UU ITE yang mengatur aktivitas di dunia maya, termasuk ceramah. Hampir semua masyarakat juga punya gawai yang bisa mereka gunakan untuk merekam dan menyebarkan konten ceramah.
“Pemahaman tentang media sosial dan UU ITE juga bisa menjadi muatan pembinaam dalam meningkatkan kompetensi penceramah,” jelasnya.
Wamenag berharap tidak membenci ujaran kebencian dan pembelajaran. Dalam kondisi seperti saat ini, semua pihak bisa saling merajut kebersamaan dan kerukunan.
Pada April 2017, Kementerian Agama juga telah menerbitkan sembilan seruan ceramah di rumah ibadah, yaitu:
1. Disampaikan oleh penceramah yang memiliki pemahaman dan komitmen pada tujuan utama diturunkannya agama, yakni melindungi harkat dan martabat kemanusiaan, serta menjaga hidup dan perdamaian umat manusia.
2. Disampaikan berdasarkan pengetahuan keagamaan yang memadai dan bersumber dari ajaran pokok agama.
3. Disampaikan dalam kalimat yang baik dan santun dalam ukuran kepatutan dan kepantasan, terbebas dari umpatan, makian, maupun ucapan kebencian yang dilarang oleh agama mana pun.
4. Bernuansa mendidik dan berisi materi pencerahan yang meliputi pencerahan spiritual, intelektual, emosional, dan multikultural.
5. Materi yang disampaikan tidak bertentangan dengan empat konvensi Bangsa Indonesia, yaitu: Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.
6. Materi yang disampaikan tidak dapat menimbulkan konflik, gangguan kerukunan ataupun merusak bangsa.
7. Materi yang disampaikan tidak terkait, penodaan, dan/atau melakukan tindakan terhadap pandangan, keyakinan dan praktik ibadah antar/dalam umat beragama, serta tidak mengandung provokasi untuk tindakan diskriminatif, intimidatif, anarkis, dan destruktif.
8. Materi yang disampaikan tidak merupakan kampanye politik praktis dan/atau promosi bisnis.
9. Tunduk pada ketentuan hukum yang berlaku terkait dengan siaran berita dan penggunaan rumah ibadah. (MA)