Senin, 15 Desember 2025. Menjelang penutupan tahun 2025, kita kembali dihadapkan pada kenyataan pahit: bencana alam kembali menyapa berbagai daerah di Indonesia. Curah hujan tinggi sepanjang Desember memicu banjir dan tanah longsor di sejumlah wilayah, terutama di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Korban jiwa berjatuhan, rumah warga rusak, dan aktivitas sosial serta ekonomi masyarakat terhenti.
Sebagai insan media, sekaligus sebagai bagian dari masyarakat, saya menyampaikan duka mendalam kepada seluruh korban dan keluarga yang terdampak. Namun, lebih dari sekadar ungkapan belasungkawa, rangkaian peristiwa tersebut mengajak kita untuk berhenti sejenak dan bercermin: sejauh mana kesediaan untuk sungguh-sungguh belajar dari bencana yang terus berulang?
Hujan merupakan bagian dari siklus alam di negeri tropis seperti Indonesia. Namun ketika hujan berubah menjadi bencana, kita patut jujur mengakui bahwa terdapat persoalan yang melampaui faktor alam semata. Bencana hidrometeorologi yang terjadi merupakan akumulasi dari berbagai kebijakan, pilihan pembangunan, serta perilaku kolektif yang kurang memberi ruang bagi kelestarian lingkungan.
Di banyak lokasi terdampak, kerusakan lingkungan menjadi benang merah yang sulit diabaikan. Hutan sebagai penyangga ekosistem terus menyusut. Kawasan lindung berubah fungsi. Daerah aliran sungai menyempit akibat sedimentasi, bangunan, dan aktivitas manusia yang kerap mengabaikan daya dukung alam. Semua terjadi perlahan, sering kali tanpa kegaduhan, hingga akhirnya alam menagih dalam bentuk bencana.
Kita juga perlu jujur melihat pola penanganan bencana selama ini. Saat musibah terjadi, solidaritas tumbuh, bantuan mengalir, dan negara hadir dalam masa tanggap darurat. Namun setelah situasi mereda, perhatian terhadap pencegahan kerap kembali memudar. Agenda penataan lingkungan kalah oleh kepentingan jangka pendek yang dianggap lebih mendesak.
Dalam konteks tersebut, peran negara menjadi sangat penting. Negara tidak cukup hanya hadir ketika bencana datang. Negara harus lebih tegas menjaga keseimbangan antara pembangunan dan kelestarian lingkungan. Penegakan hukum terhadap pelanggaran lingkungan tidak boleh tebang pilih. Kebijakan tata ruang perlu dievaluasi secara menyeluruh, bukan sekadar di atas kertas, tetapi dalam praktik nyata di lapangan.
Namun, tanggung jawab tidak hanya berada di tangan pemerintah. Setiap warga memiliki peran. Kesadaran menjaga hutan, sungai, dan lingkungan sekitar semestinya menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Kebiasaan membuang sampah sembarangan, membuka lahan tanpa kendali, atau mengabaikan aturan lingkungan merupakan bentuk kontribusi kecil yang berdampak besar terhadap kerusakan alam.
Sebagai media, kami menyadari bahwa tugas tidak berhenti pada pelaporan bencana sebagai peristiwa. Media memiliki tanggung jawab moral untuk terus mengingatkan bahwa bencana bukan kejadian yang berdiri sendiri. Bencana merupakan konsekuensi dari rangkaian keputusan dan sikap bersama. Suara kritis terhadap kebijakan yang mengabaikan lingkungan harus terus dijaga, bahkan ketika isu tersebut tidak lagi menjadi sorotan utama.
Menjelang akhir tahun 2025 dengan deretan bencana seharusnya menjadi alarm nasional. Indonesia tidak kekurangan regulasi, pengetahuan, maupun sumber daya alam. Yang sering kali kurang adalah konsistensi dan keberanian menempatkan kelestarian lingkungan sebagai fondasi pembangunan.
Jika pelajaran dari tahun 2025 kembali diabaikan, maka bencana di penghujung tahun bukan lagi sebuah kejutan, melainkan pola yang terus berulang. Seperti yang selalu terjadi, masyarakat kecil akan menjadi pihak yang paling menanggung dampaknya. (Red)




























